Jakarta, Netizen Berisik –Anies Baswedan sudah berpakaian rapi pagi itu, Senin (26/8). Ia mengenakan batik tenun merah yang tampak istimewa. Setelah memohon doa restu sang ibunda, Anies pun bertolak dari kediamannya di Lebak Bulus, Jakarta Selatan, ke kantor Dewan Pimpinan Pusat PDIP di Jalan Diponegoro 58, Jakarta Pusat.
Sekitar pukul 11.00, Anies tiba di DPP PDIP tanpa ketahuan wartawan. Ia ditempatkan di sebuah ruangan di Gedung B dan duduk bersebelahan dengan Rano Karno yang saat itu santer disebut bakal dipasangkan dengannya di Pilkada Jakarta. Rano Karno—yang populer lewat serial Si Doel Anak Sekolahan—merupakan Ketua DPP PDIP, anggota Komisi X DPR RI, dan Gubernur Banten periode 2015–2017.
Anies Diundang ke DPP PDIP
Orang dekat Anies bercerita, Anies datang ke DPP PDIP atas undangan partai tersebut. Tujuannya ada dua: 1) Bertemu dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri; dan 2) Diumumkan menjadi calon Gubernur DKI Jakarta pada Pilkada 2024 yang berjalan serentak.
Bila sesuai rencana, Anies bakal diumumkan sebagai cagub Jakarta dari PDIP pada pukul 13.00 WIB. Sebelum itu, menurut sumber lain di lingkaran Anies, Anies akan bertemu Mega sejenak.
Namun, rencana tinggal rencana. Realita menuju arah yang berbeda. Anies yang telah beberapa jam menunggu sambil mengobrol dengan Rano Karno, justru dipersilakan pulang tanpa bertatap muka dengan Mega seperti rencana awal. Di sini, tanda-tanda proses pengusungan Anies mengalami kendala mulai terlihat.
Ketika itu, sejumlah elite PDIP meyakinkan Anies bahwa pengusungannya sebagai cagub Jakarta bukan dibatalkan, tetapi ditunda. Menurut orang-orang dekat Anies, penundaan itu disebut disebabkan masalah yang belum selesai terkait bakal calon wagub Anies—yang notabene Rano Karno.
Anies tak mendapat penjelasan rinci mengenai masalah yang dimaksud, dan ia pun tak menuntut penjelasan. Dari DPP PDIP, Anies menuju markas tim pemenangannya di Jalan Brawijaya, Kebayoran Baru, Jaksel. Di sana, ia masih sempat menonton pengumuman cagub PDIP gelombang ketiga—yang tidak mencakup namanya.
Siang itu, Tim Anies masih meyakini jagoan mereka bakal diusung PDIP. Akan tetapi, sorenya keyakinan itu mulai pudar setelah Bendahara Umum PDIP Olly Dondokambey menyatakan PDIP bakal mengusung Pramono Anung dan Rano Karno di Pilkada Jakarta.
Pramono, yang kerap disapa Pram, ialah kader PDIP yang duduk di kabinet Jokowi sebagai Sekretaris Kabinet. Ia sudah menjadi Seskab sejak periode satu pemerintahan Jokowi, dan tetap mengemban jabatan itu meski kemudian Jokowi bersitegang dengan PDIP.
Pram bukanlah kader biasa bagi PDIP. Ia sepuluh tahun menjabat posisi penting di partai banteng, yakni Sekjen PDIP periode 2005–2010 dan Wasekjen PDIP periode 2000–2005. Pram juga 16 tahun (tiga periode) duduk di DPR RI dan menjadi Wakil Ketua DPR periode 2009–2014.
Namun, munculnya nama Pram awalnya dianggap Tim Anies sekadar isu untuk mengalihkan perhatian media. Terlebih, Olly—yang melontarkan nama Pram—sepengetahuan mereka tak ada sangkut pautnya dengan proses yang berlangsung antara PDIP dan Anies.
Keesokannya, Selasa (27/8), kabar majunya Pramono-Rano Karno kian kencang dan meyakinkan seiring makin banyaknya pemberitaan tentang pasangan itu. Malahan Rano sendiri mengunggah foto pertemuannya dengan Pramono.
Rabu pagi (28/8), Pramono menelepon Anies. Ia mengatakan sedang bersiap-siap mendaftar ke KPU bersama Rano Karno. Pada saat itulah muncul kepastian bahwa Anies batal diusung PDIP.
Jelang siang pukul 11.00 WIB, Pramono-Rano melenggang ke gelanggang laga Pilkada Jakarta tanpa deklarasi dan pengumuman resmi PDIP sebagaimana calon-calon mereka pada pilkada daerah lain.
Nama Anies Sudah Sempat Disetujui Megawati
Kedatangan Anies ke DPP PDIP dua hari sebelumnya, 26 Agustus, bukan ujug-ujug. Menurut orang-orang dekatnya, Anies memenuhi undangan PDIP setelah namanya disetujui Megawati untuk diusung pada Minggu malam (25/8).
Lampu hijau itu membuat utusan PDIP, Said Abdullah dan Ahmad Basarah, bertandang ke markas relawan Anies di Brawijaya. Mereka menyodorkan pakta integritas kepada Anies. Peristiwa penandatanganan pakta itu kemudian tersebar di media sosial.
Pakta itu meminta komitmen Anies sebagai calon yang akan diusung PDIP untuk menjalankan visi-misi dan gagasan PDIP, di antaranya agar berpihak pada wong cilik hingga menjunjung tinggi sistem meritokrasi yang menempatkan seseorang berdasarkan kemampuan dan prestasinya.
Selain itu, tak ada syarat khusus bagi Anies untuk diusung PDIP. Ia tidak harus masuk PDIP dan menjadi kader seperti diduga sebagian orang. Pada titik itu, antara kedua pihak sebetulnya sudah mencapai kesepahaman.
Kesepahaman itu bisa tercapai karena komunikasi antara Anies dan PDIP bukannya baru-baru ini saja, tapi sebelum putusan MK Nomor 60/2024 diketuk—yang membuka ruang bagi PDIP untuk mengusung calon sendiri karena ambang batas pengusungan cagub diturunkan dari 25% menjadi 7,5% suara sah partai di Pilkada Jakarta.
Penjajakan Anies dengan PDIP terbuka lebar setelah Anies ditinggalkan partai-partai yang mengusungnya di Pilpres, yakni PKS, NasDem, dan PKB—yang kini bergabung ke koalisi gemuk Prabowo. Padahal PKS sudah sempat mengeluarkan surat keputusan untuk mengusung Anies dan Sohibul Iman, Wakil Ketua Majelis Syura PKS, di Pilgub Jakarta.
Anies Dinasihati agar Tidak Menjadi Raja Jawa
Awal Agustus 2024, ada seseorang mengaku sebagai utusan dari Ponpes Nurul Huda Sragen, Jawa Tengah. Ia mengirim pesan ke Tim Anies, memohon waktu untuk bertemu.
Saat utusan itu ditemui, ia menyampaikan undangan secara lisan dari ponpesnya kepada Anies untuk bersilaturahmi ke pondok mereka jika ada waktu. Ia berkata, Anies boleh datang, boleh juga tidak.
Anies memang pernah berkunjung ke ponpes tersebut pada Mei 2023. Ketika itu, di sana ia menemui pimpinan ponpes, KH Syarif Hidayatullah, yang akrab dipanggil Abah—sama seperti panggilan pendukung Anies kepada Anies.
Namun Agustus 2024 itu, selain undangan silaturahmi, tak ada pesan khusus dari utusan Nurul Huda tentang urusan yang bakal dibicarakan ponpesnya kepada Anies. Meski demikian, Anies tetap memenuhi undangan itu.
Pada 10 Agustus, di sela kegiatannya, Anies bertandang ke Ponpes Nurul Huda yang juga beberapa kali dikunjungi Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto
Di sana, ia mendapat wejangan dari Abah. Menurut orang dekatnya, Anies dititipi pesan oleh pimpinan ponpes agar menyiapkan komitmen moral sebelum dicalonkan menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Anies juga dinasihati agar tidak merasa pintar dan harus merakyat. Ia juga mesti njawani alias menyelami karakter dan budaya Jawa yang penuh unggah-ungguh dan tata krama, tanpa berujung menjadi Raja Jawa. Terakhir, Anies dipesani agar tidak seperti Jokowi yang dianggap berkhianat pada pihak yang membesarkannya.
Esoknya, di Jakarta, Hasto mengonfirmasi bahwa kedatangan Anies ke Ponpes Nurul Huda adalah bentuk komunikasi antara PDIP dan Anies soal Pilgub Jakarta. Menurutnya, ada proses spiritual dalam komunikasi melalui pihak ketiga itu.
Anies juga pernah diminta bertemu Chaerudin atau Babe Idin, aktivis lingkungan yang mendedikasikan hidupnya untuk membersihkan Sungai Pesanggrahan dari tumpukan sampah. Saat itulah terjadi diskusi dan tukar pikiran antara Anies dan Babeh Idin tentang lingkungan dan tata ruang.
Diskusi itu rupanya menjadi metode untuk menilai sosok dan gagasan Anies melalui pihak ketiga. Jadi, penjajakan antara PDIP dan Anies berjalan layaknya track two diplomacy, yakni menjalin relasi dengan bantuan perantara.
Hasil diskusi dengan Babeh Idin itu, menurut Tim Anies, dimasukkan ke platform visi-misi PDIP. Berikutnya, PDIP melalui Hasto disebut mengirim sinyal kerja sama untuk mengusung Anies jika visi-misi dari PDIP akan dilaksanakan.
“Bersedia untuk memenuhi komitmen, termasuk visi-misi yang disiapkan partai, khususnya tentang politik tata ruang, kelestarian lingkungan, sungai-sungai. [Bila] tata ruang Jakarta diatur dengan baik, tentu terbuka [peluang untuk mengusung Anies],” kata Hasto di Kantor DPP PDIP, Kamis (22/8), dua hari usai putusan MK.
Anies Ditentang Ahok dan Dijegal Mulyono
Masuknya Anies dalam radar pencalonan Gubernur Jakarta oleh PDIP disebut orang-orang dekatnya dimotori oleh sebagian kalangan soekarnois-nasionalis di tubuh PDIP seperti Hasto, Said, dan Basarah.
Menurut sumber yang sama, muncul gagasan bahwa diusungnya Anies oleh PDIP dapat menghilangkan segregasi/pemisahan antara kalangan nasionalis dan agamis yang dianggap mengemuka sejak Orde Baru. Padahal, saat Orde Lama di bawah Sukarno, ideologi nasionalis, agamis, dan komunis bisa berjalan berdampingan dengan doktrin Nasakom.
Namun sejak Orde Baru, kalangan nasionalis, agamis, dan sisa-sisa komunis dipisahkan oleh pilihan partai politik. Bahkan setelah memasuki era Reformasi, contohnya pada Pilpres 2014 dan Pilkada 2017, pilihan politik yang tersedia bagi warga seolah-olah mempertentangkan agama dan Pancasila.
Sumber kumparan mengatakan, kelompok soekarnois-nasionalis di PDIP berharap langkah mengusung Anies dapat menjadi jembatan antara kaum nasionalis dan religius yang seakan terpisah oleh pilihan politik hasil residu pilkada dan pilpres yang lalu. Itu pula sebabnya Anies tidak disyaratkan masuk PDIP untuk diusung.
Walau begitu, sumber PDIP dan orang dekat Anies menyebut, ada faksi di internal partai banteng yang tak menghendaki Anies nyagub lewat PDIP. Faksi ini masih mencatat Pilkada 2017 sebagai noktah hitam. Salah satu gerbong di faksi ini ialah kubu Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, sosok yang menjadi rival Anies di Pilgub Jakarta 2017.
Pilgub Jakarta 2017 dinilai peneliti senior BRIN Siti Zuhro sebagai pilkada terburuk dalam sejarah Indonesia karena didominasi politisasi isu SARA. Pilgub itu diwarnai tudingan penistaan agama oleh Ahok dan akhirnya dimenangi Anies. Kini, Ahok yang menjadi salah satu Ketua DPP PDIP mengancam bakal keluar dari PDIP jika partainya sampai mengusung Anies jadi cagub Jakarta.
Kondisi dilematis ini membuat DPP PDIP menggelar rapat Senin pagi (26/8) yang dihadiri Megawati dan beberapa orang perwakilan faksi-faksi di internal partai. Dalam kondisi perbedaaan pandangan yang cukup sengit inilah, menurut sumber-sumber dekat Anies, ada pihak berkuasa yang menunggangi faksi anti-Anies dengan menawarkan alternatif calon: Pramono Anung.
PDIP juga disebut diingatkan akan sejumlah kasus hukum di lingkarannya yang dapat menjerat elite partai maupun kerabat mereka jika tetap berniat mengusung Anies. Menurut sejumlah sumber, salah satu sinyal bahwa ancaman hukum terhadap petinggi PDIP bukan omong kosong ialah pemanggilan kemenakan Megawati, RD, ke KPK terkait dugaan korupsi di Ditjen Perkeretaapian pada 27 Agustus, sehari setelah Anies bertandang ke DPP PDIP.
Sumber di Tim Anies mengibaratkan tekanan yang diterima PDIP pada menit-menit akhir finalisasi cagub Jakarta laiknya ditabrak kereta Argo Mulyono. Sudah jadi rahasia umum bahwa Mulyono ialah nama kecil Presiden Jokowi—yang kemudian diganti untuk buang sial karena Jokowi kecil dahulu sakit-sakitan.
Mendengar instruksi itu, Pramono awalnya menolak, tetapi Mega menekankan bahwa ini ialah tugas partai. Maka jadilah duet Pramono-Rano diusung PDIP.
Saat itu juga, Pram berkonsultasi ke dua orang, yakni istrinya dan atasannya di pemerintahan: Presiden Jokowi. Pramono menggambarkan penunjukannya begitu mendadak sampai-sampai agenda lain mesti dibatalkan.
“Kepada Bapak Presiden saya berkonsultasi—saya datang langsung [menemuinya] dan saya telepon langsung. Dan ketika saya berkomunikasi, duduk berdua sama beliau setelah beliau pulang dari Lampung, beliau tertawa terbahak-bahak. Beliau bilang begini, ‘Mas, maju… Mas, maju…’” ucap Pram.
Pramono dianggap sumber-sumber di kubu Anies sebagai jalan tengah antara kepentingan Istana dan PDIP. Walau begitu, sumber di internal PDIP menampik dan menyebut anggapan keterlibatan Istana dalam proses pencalonan tersebut hanyalah rumor dan bumbu yang diracik untuk memengaruhi pengambilan keputusan di PDIP.
Rano Karno sendiri ikut membantah isu pencalonan Pramono sebagai titipan Istana. Ia menegaskan, “Enggak ada titipan, tapi enggak bisa dipungkiri Pak Pram itu sahabat baik [Jokowi].”
Sementara Jokowi mengatakan tidak cawe-cawe dalam urusan pencalonan kepala daerah oleh partai karena ia bukan ketua partai atau pemilik partai.
“Saya dituding menjegal, menghambat, tapi kan [pilkada] itu urusan partai politik. Mau mencalonkan atau tidak mencalonkan itu urusan parpol. Ada mekanisme dan proses di situ.”
Meski telah terang bahwa Anies batal diusung PDIP jadi cagub Jakarta, tidak ada kabar resmi dari PDIP. Tim Anies kemudian bertanya kepada para promotor yang selama ini memperjuangkan Anies di PDIP.
Perantara dari ponpes di Sragen kemudian mengatakan bahwa situasinya kacau balau. Pencalonan Anies disebut dihimpit dari dua sisi, yakni penolakan faksi tertentu di internal PDIP dan ancaman kasus kepada elite PDIP. Promotor Anies di PDIP pun meminta maaf karena kondisi jadi tak terkendali.
Mulyono Muncul Lagi di Tengah Drama Pencalonan Anies di Jabar
Setelah pencalonan Anies ambyar di DKI Jakarta, PDIP menjadikannya sebagai salah satu opsi di Pilgub Jawa Barat. Menurut Tim Anies, tawaran untuk menjadi cagub Jabar datang pada Rabu sore (28/8).
Tawaran itu tak disangka-sangka sampai-sampai ada dugaan di internal Tim Anies bahwa PDIP menyimpan penyesalan karena batal mengusungnya di Jakarta—opsi yang sesungguhnya telah dijajaki dan dirundingkan cukup matang.
Namun Anies tak serta-merta mengiyakan tawaran maju di Pilgub Jabar yang masuk satu hari jelang masa pendaftaran calon ke KPU berakhir. Tim Anies menyampaikan, PDIP mesti mengajak PKB untuk menggaet basis massa Islam yang mengakar di sebagian besar wilayah Jawa Barat.
Masalahnya, PKB yang sebetulnya ingin mengusung Anies dihadapkan pada situasi dilematis macam PDIP di Jakarta. Menurut tiga sumber kumparan di lingkaran Anies, PKB terancam tak mendapat pengesahan kepengurusan pasca-Muktamar Bali oleh Menkumham jika mengusung Anies. Apalagi muncul rencana muktamar tandingan PKB pada 2-3 September.
kumparan mencoba mengirim pesan kepada elite PKB 2019-2024 yakni Sekjen Hasanuddin Wahid dan Ketua DPP Dita Indah Sari untuk mengonfirmasi informasi tersebut, akan tetapi belum mendapat respons.
Dalam unggahannya di medsos X dan IG pada Jumat malam, 30 Agustus, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar mengunggah potret siluetnya bersama Anies Baswedan seraya menulis deskripsi bahwa mereka saling memahami kondisi satu sama lain karena mengerti kaidah mukodamun yang dalam ushul fikih Islam bermakna: menghindari bencana/kerusakan lebih diutamakan ketimbang mendapat kebaikan.
Niat PDIP mengusung Anies di Pilkada Jabar mulai menyebar pada Kamis sore (29/8) ketika Ketua DPD PDIP Jabar Ono Surono mengatakan bakal ada kejutan di Pilkada Jabar dan PDIP bisa saja mengusung non-kader.
Isu itu makin bergaung saat sebagian orang dekat Anies mulai berangkat ke Bandung pada Kamis petang. Menurut sumber kumparan, keberangkatan tim operasional Anies ke Bandung itu sesungguhnya hanya untuk berjaga-jaga, sedangkan kepastian Anies maju di Jabar belum ada.
Barulah pada pukul 21.30 WIB, Juru Bicara Anies, Sahrin Hamid, mengumumkan bahwa Anies tidak akan maju di Pilkada Jabar. Alasannya: karena tidak ada aspirasi khusus dari warga maupun DPD/DPW parpol di Jabar.
Pada akhirnya PDIP mengusung Jeje Wiriadinata dan Ronal Surapradja di Pilgub Jabar. Keputusan itu dilakukan di injury time jelang penutupan pendaftaran calon kepala daerah. Alhasil, pasangan calon tidak datang langsung ke KPUD, melainkan via Zoom karena waktu sudah mepet.
Abdy Yuhana dari DPD PDIP Jabar menjelaskan, Anies hanyalah satu dari berbagai opsi yang dijajaki oleh PDIP Jabar. Selain Anies, ada juga nama Susi Pudjiastuti dan Sandiaga Uno. Ketiganya tidak jadi diusung.
“Skenario dengan Pak Anies boleh dikatakan tidak berjalan. Kami tetap ada opsi: Pak Jeje. Ia sudah dipersiapkan dan mempunyai prestasi,” ujar Abdy.
Ada kesan bahwa PDIP memilih secara mendadak kandidat cagub-cawagubnya di Jabar. Menurut sumber di internal PDIP Jabar, pencalonan Anies di provinsi itu pun dihambat. Padahal, ujar Ono, PDIP Jabar dan Megawati sudah setuju mengusung Anies di Jabar.
“Kenapa gagal? Kami menghadapi tantangan yang sangat besar—tangan-tangan dari luar yang tidak menghendaki Pak Anies diusung oleh PDI Perjuangan di Jawa Barat,” kata Ono.
Ketika ditanya “tangan” siapa itu, Ono menjawab ringkas dan jelas, “Mulyono dan geng.”
kumparan menghubungi Ketua DPP PDIP Said Abdullah, Ahmad Basarah, dan sejumlah politisi PDIP lain untuk mengetahui lebih lanjut soal batalnya pencalonan Anies, akan tetapi tidak mendapat respons.
Sementara itu, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto hanya mengatakan bahwa partainya tidak meminta Anies secara khusus untuk maju di Pilkada Jabar. Dan Jokowi yang kini kerap disebut publik “Mulyono” membantah mengintervensi.
“Saya bukan ketua partai. Saya juga bukan pemilik partai. Apa urusannya?” kata Jokowi.
Anies Ditakuti Penguasa, Kenapa?
Secara ringkas, Anies Baswedan bisa dibilang gagal melenggang ke pilkada dalam tiga babak: 1) Ditinggal parpol pendukungnya sehingga tak dapat tiket pencalonan; 2) Batal diusung PDIP di Jakarta meski kartu pencalonannya sempat terbuka lagi pasca-putusan MK; 3) Dijegal Geng Mulyono saat hendak dicalonkan PDIP di Jawa Barat.
Dengan kata lain, pintu pencalonan Anies Baswedan di Pilkada 2024 tertutup dari berbagai sudut.
Relawan dan pendukung Anies, Andi Sinulingga, berpendapat bahwa penjegalan sistematis terhadap Anies terjadi lantaran sosoknya demikian ditakuti penguasa. Anies tak diinginkan masuk ke sistem pemerintahan yang kini dianggap menjauh dan melenceng dari nilai-nilai demokrasi.
Anies juga dianggap ditakuti karena tidak menjadi bagian dari oligarki atau pemodal politik yang bisa menyanderanya ketika menjabat. Contohnya, kata Andi, Anies bisa menghentikan sebagian proyek reklamasi yang dinilai tak ramah lingkungan saat ia menjabat Gubernur DKI Jakarta 2017–2022.
“Tidak ada satu pun kebijakan Anies di DKI yang tersandera dengan kepentingan oligarki. Ia merdeka dan melakukan semua (mengambil kebijakan) secara merdeka. Kalau waktu itu Anies menerima amplop dari pengusaha-pengusaha yang berkepentingan terhadap reklamasi, dia akan sulit membuat kebijakan-kebijakan yang merdeka,” ujarnya.
Eks Mendikbud itu juga disebut ditakuti karena punya gagasan sendiri dan sulit ditundukkan sehingga berpotensi jadi gangguan bagi legacy pemerintahan kini.
Pengamat politik Universitas Paramadina Hendri Satrio tak kaget melihat Anies tak diberi jalan untuk berkontestasi di Pilkada 2024, sebab jika diberi panggung, ia bisa tumbuh jadi pesaing serius pada Pilpres 2029.
“Anies itu bakal jadi lawan yang serius buat rezim di 2029,” ujarnya.
Kini, Anies berniat untuk terus berkiprah di Indonesia dan berkegiatan di banyak tempat. Ia pun berencana terus mendorong tumbuh kembang gerakan sosial masyarakat seperti Ubah Bareng, Humanies, dan Turun Tangan yang terinspirasi dari gagasannya.
Sementara soal peran Anies dalam perpolitikan, orang-orang dekatnya punya dua pendapat, antara yang mendorong Anies masuk parpol atau membuat parpol sendiri.
Anies sendiri usai huru-hara pencalonan pilkada kemarin, melontarkan pertanyaan penting kepada publik dan pendukungnya: Jika masuk parpol, saat ini parpol mana yang tidak tersandera oleh kekuasaan?
Faktanya, parpol-parpol yang hendak mencalonkannya di pilkada saja diancam.
Maka, ujar Anies, “Bila untuk mengumpulkan semua semangat perubahan yang sekarang makin hari makin terasa besar, dan itu menjadi sebuah kekuatan yang diperlukan untuk gerakan, maka membangun ormas atau partai baru mungkin akan jadi jalan yang kami tempuh.”
Sumber di lingkaran Anies yang sepakat dengan gagasan membentuk parpol baru berpendapat, wadah baru diperlukan agar Anies bisa lebih terstruktur dalam mengimplementasikan gagasannya.
Sementara Andi Sinulingga yang tidak setuju dengan pembentukan parpol baru mengatakan, parpol berpotensi melahirkan konflik kepentingan dan mencemari anak-anak muda dengan contoh budaya politik buruk dari para senior mereka.
Dalam hal ini, Anies telah berucap, “Kita lihat sama-sama ke depan.”