Jakarta, Netizen Berisik – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati terus berupaya menggenjot penerimaan pajak. Selain menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi sebesar 12 persen, Menkeu juga mengejar potensi pajak dari ekonomi bawah tanah atau underground economy.
“Pemetaan aktivitas ilegal berbeda dengan ekonomi bawah tanah. Ekonomi bawah tanah sifatnya menghindari pajak, maka pemetaannya akan berbeda. Ini yang sedang dilakukan oleh Pak Wamenkeu Anggito beserta tim pajak, bea cukai, dan PNBP,” ujar Sri Mulyani.
Contoh yang saat ini menjadi perhatian adalah praktik penghindaran pajak pada sektor CPO (Crude Palm Oil) atau minyak kelapa sawit, di mana umumnya praktik yang terjadi berupa manipulasi luas lahan, pelaporan yang tidak sesuai, hingga strategi transfer pricing. Kemenkeu akan mengambil tindakan penegakan hukum sesuai dengan jenis pelanggaran yang dilakukan.
Sementara untuk aktivitas ekonomi bawah tanah yang bersifat kriminal, seperti judi online, akan ditangani melalui kerja sama lintas kementerian/lembaga (K/L), termasuk dengan Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan. Kemenkeu akan memetakan tiap aktivitas ilegal maupun ekonomi bawah tanah secara bertahap sambil berkoordinasi dengan kementerian koordinator.
Bea Cukai akan terus meningkatkan sinergi dan koordinasi antarinstansi guna meningkatkan keberhasilan dalam penindakan di bidang kepabeanan dan cukai.
Menkeu Sri Mulyani sebelumnya memastikan tarif PPN sebesar 12 persen akan ditetapkan. Hal itu sesuai dengan beleid soal harmonisasi peraturan perpajakan. Saat ini, tarif PPN adalah sebesar 11 persen.
Penerapan tarif PPH tersebut sesuai dengan keputusan yang telah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Aturan tersebut menyatakan bahwa tarif PPN 12 persen mulai berlaku paling lambat 1 Januari 2025.
“Sudah ada undang-undangnya. Kita perlu untuk menyiapkan agar itu bisa dijalankan tapi itu dengan penjelasan yang baik,” kata Sri Mulyani saat menghadiri Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI, Kompleks DPR RI, Jakarta, Rabu (13/11/2024).
Ia mengatakan, penjelasan lebih lanjut mengenai hal itu kepada masyarakat diperlukan agar pemerintah tetap bisa menjaga kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ia menekankan tetap untuk perlu menelaah korelasinya.
“Namun di saat yang lain APBN itu harus merespons seperti yang kita lihat episode-episode seperti saat global financial crisis, waktu terjadinya pandemi (Covid-19), itu kita gunakan APBN,” ujarnya.
Sri Mulyani menyampaikan bahwa memang ada pro kontra yang muncul di masyarakat mengenai PPN 12 persen. Terutama kaitannya dengan perlunya mempertimbangkan soal daya beli masyarakat yang melemah.