Dinas Pendidikan (Disdik) Jakarta buka suara soal pemecatan serentak terhadap ratusan guru honorer di awal tahun ajaran baru 2024/2025. Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pendidikan Jakarta, Budi Awaluddin mengatakan, kebijakan pembersihan atau cleansingÂguru honorer ini dilakukan sebagai tindak lanjut hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
BPK menemukan adanya peta kebutuhan honorer yang tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud), serta ketentuan sebagai penerima honor.
“Kami melakukan cleansing (guru honorer) hasil temuan dari BPK,” kata Budi dalam keterangan tertulis, dikutip Rabu (17/7/2024).
Budi menyampaikan, penataan tenaga honorer pada satuan pendidikan negeri di wilayah DKI Jakarta telah dilakukan sejak 11 Juli 2024. Hal itu sesuai dengan mandat Permendikbud Nomor 63 tahun 2022 pasal 40 (4).
Pada Permendikbud tersebut dijelaskan bahwa guru yang dapat diberikan honor harus memenuhi persyaratan seperti berstatus bukan ASN, tercatat pada Data Pokok Pendidikan (Dapodik), memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK), dan belum mendapat tunjangan profesi guru.
Lalu merujuk pada Pasal 5 Peraturan Sekretaris Jenderal (Persesjen) Kemdikbud Nomor 1 Tahun 2018, disebutkan bahwa persyaratan NUPTK untuk guru honorer di sekolah negeri ialah adanya rekomendasi dari Dinas Pendidikan.
Namun, kata Budi, dari 4.000 orang guru honorer yang ada di satuan pendidikan di Jakarta saat ini, tidak ada satu pun guru honorer yang diangkat oleh Dinas Pendidikan, sehingga NUPTK-nya tidak dapat diproses sesuai dengan ketentuan berlaku.
Karena itu, ribuan guru honorer Jakarta ini juga terancam akan kehilangan pekerjaannya mulai tahun ajaran 2024-2025. “Iya ada 4.000 (guru honorer yang akan terdampak cleansing),” kata Budi dalam konferensi pers di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu (17/7/2024).
Budi mengungkapkan, berdasarkan temuan BPK pada 2023, ada 400 sampling guru honorer yang diterima mengajar di satuan pendidikan dengan cara yang tidak sesuai.
“Kalau sampling BPK 400 (guru honorer) karena kan jumlah sekolahnya banyak,” ujar Budi.
Pengangkatan guru honorer itu disebut tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), di mana status guru honorer harus sudah tidak ada sampai Desember 2024.
Menurut Budi, data ribuan guru honorer di Jakarta itu didapat dari penambahan yang terakumulasi sejak 2016. Kepala sekolah juga telah dilarang mengangkat guru honorer sejak 2017.
“Kita sudah kasih tahu dari 2017, kita kasih tahu jangan mengangkat guru honorer, dan akhirnya temuan BPK kan 2023. Kita sampaikan ada UU ASN juga mereka kan digaji juga tidak manusiawi, karena tidak ada aturan ketentuan itu,” ucap Budi.
Guru Honorer Kena Cleansing Diangkat Tak Sesuai Aturan
Pengamat Pendidikan Darmaningtyas menilai, kebijakan cleansing atau bersih-bersih guru honorer dengan melakukan pemecatan masal adalah tindakan ngawur dan tidak berperikemanusiaan.
“Itu (cleansing) jelas tindakan yang ngawur, tidak berperikemanusiaan, tidak pakai otak,” kata Darmaningtyas kepada Liputan6.com, Rabu (17/7/2024).
Menurutnya, cleansing guru honorer tidak harusnya dilakukan di awal tahun ajaran baru. Terlebih prosesnya dilakukan secara mendadak tanpa ada pemberitahuan kepada guru honorer sebelumnya.
“Harusnya cleansing itu ya dilakukan di akhir tahun ajaran sehingga para guru sudah tahu kalau di tahun ajaran baru mereka tidak ada jam mengajar lagi. Tapi kalau itu dilakukan di awal tahun ajaran dan secara tiba-tiba, jelas tidak berperikemanusiaan,” tuturnya.
Darmaningtyas pun meminta agar para pengambil kebijakan berpikir logis serta membayangkan apabila kebijakan serupa menimpa diri mereka. “Kalau itu terjadi pada keluarga pengambil kebijakan, apa tidak sakit hati?,” ujarnya.
Hal yang sama juga disampaikan Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (Kornas JPPI), Abdullah Ubaid Matraji. Dia mengkritik dalih Disdik Jakarta melakukan cleansing ratusan guru honorer karena perekrutannnya dilakukan sepihak dan tidak sesuai aturan.
“Itu hanya klaim yang melukai guru. Bukan seperti itu fakta sebenarnya. Banyak di antara mereka yang punya NUPTK dan sudah terdaftar di Dapodik. Apa mereka tidak cukup diakui sebagai guru? Apalagi mereka juga sudah mengajar bertahun-tahun lamanya,” ucap Ubaid saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (18/7/2024).
“Cleansing guru honorer ini kebijakan yang menginjak-injak profesi guru. Pemerintah harusnya memberikan hak para guru ini untuk diakui dan disejahterakan, bukan malah habis manis sepah dibuang,” sambungnya.
Menurut Ubaid, jika kebijakan cleansing guru honorer ini tetap dipaksakan, maka justru akan menimbulkan dampak yang sangat buruk bagi dunia pendidikan. Salah satunya, profesi guru akan semakin tidak diminati, sehingga akan diisi oleh orang-orang yang tidak berkualitas.
“Kalau gurunya enggak berkualitas, pasti output lulusannya berantakan. Hanya ada di Indonesia guru nyambi kerja jadi pemulung untuk menyambung hidup. Guru tiap hari ngurusin anak orang, tapi anaknya sendiri malah stunting karena enggak bisa beli asupan gizi. Ini bagian dari kisah-kisah kelam guru honorer di Indonesia,” katanya.
Ali-alih cleansing, Ubaid mendorong pemerintah membuka mata dan hati terhadap kondisi guru honorer yang ada di Indonesia. Mestinya, kata dia, pemerintah mengangkat status guru honorer dan memastikan kesejahteraan hidupnya.
“Semua itu hak yang mestinya mereka terima, tapi pemerintah masih abai,” ujar Ubaid menandaskan.
Sementara itu, Pengamat Pendidikan Ina Liem menyoroti kompleksitas permasalahan guru honorer yang terjadi di Indonesia. Pertama dia menyinggung soal proses rekrutmen guru honorer yang selama ini menurutnya tidak berlangsung transparan.
“Atas dasar apa kepala sekolah merekrut jumlah guru segitu? Sudah sesuai formasi dan kebutuhan kah? Banyak laporan dari siswa bahwa di sekolah negeri, sering jam kosong, guru tidak datang mengajar. Apakah karena guru tetap sering tidak masuk sehingga digantikan oleh guru honorer?,” ucap Ina saat dihubungi Liputan6.com, Kamis.
Tak hanya itu, dia juga mempertanyakan dana BOS yang dipergunakan apakah sepenuhnya masuk ke gaji guru honorer atau justru ada potongan-potongan dari kepala sekolah atau pihak-pihak lain.
“Kita sudah tahu banyak kebocoran-kebocoran anggaran yang terjadi di sekolah-sekolah negeri kita. Untuk itu, saya yakin masyarakat yang bersih pasti setuju kita harus berantas korupsi di dunia pendidikan. Tapi memang ada pihak-pihak yang dirugikan, dalam hal ini guru honorer yang direkrut tidak sesuai prosedur atau formasi, sehingga mereka tidak terdaftar secara resmi,” kata Ina.
Dalam kasus cleansing guru honorer ini, Ina mengkritik cara penyampaian yang dilakukan Dinas Pendidikan Jakarta. “Cara penyampaiannya mungkin yang seharusnya tidak mendadak, perlu pemberitahuan yang direncanakan.”
Lebih lanjut, Founder Jurusanku.com ini meminta para guru honorer yang terdampak cleansing tidak patah semangat. Mereka diminta terus meningkatkan keterampilan untuk terus berkembang menjadi lebih baik.
“Fokus upskilling, karena dunia kerja memang makin kompetitif, tidak hanya dunia pendidikan, tapi di semua bidang. Kita harus agile. Pintu satu tertutup, percayalah ada pintu lain terbuka, asal kita rajin mengembangkan skill,” kata Ina Liem menandaskan.
DPR Minta Kebijakan Cleansing Guru Honorer Dicabut
Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda menilai bahwa kebijakan cleansing terhadap ratusan guru honorer di Jakarta melanggar UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Terlebih kebijakan tersebut dikeluarkan secara sepihak dan mendadak.
“Di dalam beberapa pasal ditegaskan di sana pengelolaan termasuk tentang guru itu harus berkeadilan, berkelanjutan, demokratis. Unsur-unsur ini tidak dipenuhi oleh kebijakan yang mendadak, mereka sepihak langsung memutuskan kontrak kerja dengan pihak guru,” ujar Syaiful
Politikus senior PKB ini meminta Pemprov Jakarta, dalam hal ini Dinas Pendidikan duduk bersama dengan BPK untuk mencarikan solusi dari temuan yang melatarbelakangi munculnya kebijakan cleansing guru honorer. Apalagi tak sedikit guru honorer yang terdampak kebijakan ini sudah mengabdikan diri sebagai pengajar lebih dari lima tahun.
“Jadi itu melanggar UUD, kita minta secepatnya mereka bertemu. Ini kan berangkat dari temuan BPK bahwa mereka tidak terdaftar di Dapodik, padahal mereka sudah ngajar lima tahun, artinya secara status ini guru yang sudah ngajar bukan orang yang tiba-tiba masuk dan tidak jelas statusnya,” kata Syaiful.
Keberadaan para pengajar tanpa status jelas ini justru seharusnya menjadi perhatian pemerintah daerah. Sebab bagaimanapun mereka mempunyai andil besar dalam mencerdasakan kehidupan bangsa sebagaimana amanat UUD 1945.
“Bahwa kemudian tidak terdaftar di Dapodik apa itu kebijakan berikutnya, tapi mereka harus dilindungi dengan cara dipulihkan kembali dan dikontak kembali maksud saya, harus dilakukan oleh Pemda,” ucap Wasekjen PKB ini.
Lebih lanjut, Syaiful menyatakan bahwa kebijakan cleansing ratusan guru honorer di Jakarta ini pasti akan berdampak serius pada proses belajar mengajar di sekolah. Terutama pada mata pelajaran yang selama ini diampu para guru honorer tersebut.
“Mata pelajaran yang beliau ampu di berbagai sekolah itu akhirnya sekarang mengalami kekosongan, dan itu enggak bisa digantikan perannya oleh guru PNS yang ada di situ. Mereka direkrut kan karena memang kekurangan. Begitu sesuatu yang kurang jadi hilang, berarti ya perannya hilang. Artinya proses belajar mengajar di sekolah-sekolah pasti terhambat dan risikonya berarti proses pendidikan kita tidak berjalan dengan baik.”
Karena itu, ketua komisi di DPR yang membidangi pendidikan, olahraga, dan sejarah ini mendorong agar Pemprov Jakarta segera mencabut kebijakan cleansing dan memberikan kesempatan para guru honorer tersebut kembali mengajar.
“Sekali lagi mereka (harus) dipastikan tetap bisa mengajar kembali. Bahwa ada persoalan administrasi yang harus dituntaskan, itu hal yang lain,” kata Syaiful Huda menandaskan.
Wakil Ketua Fraksi PDIP DPRD Jakarta Ima Mahdiah juga menolak kebijakan Pemprov Jakarta terkait pembersihan guru honorer. Selain merugikan guru, kebijakan tersebut juga dinilai berpotensi mengganggu sistem pembelajaran di sekolah.
“Kebijakan ini perlu dikaji lebih dalam karena masih banyak sekolah yang kekurangan guru dengan kualifikasi linear. Jika kebijakan cleansingÂini terus dilakukan dikhawatirkan akan mengganggu sistem pembelajaran di sekolah-sekolah,” kata Ima dalam keterangan tertulis, Kamis (18/7/2024).
Anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta ini juga menyoroti potensi tumpang tindih antara kebijakan daerah dan kebijakan pusat soal penghapusan tenaga honorer, termasuk guru honorer. Pasalnya, kata Ima, penataan tenaga honorer merupakan kebijakan yang awalnya dibuat oleh pemerintah pusat melalui UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN.
Pasal 66 UU tersebut mengharuskan seluruh instansi pemerintahan pusat maupun daerah melakukan penataan pegawai non-ASNÂ dengan batas waktu hingga Desember 2024. Menurut Ima, tujuan utama dari kebijakan ini ialah meningkatkan kualitas dan kesejahteraan pegawai pemerintahan dengan mengakui hanya PPPK dan ASN.
“Bukan untuk melakukan pemecatan ataupun pembersihan (cleansing). Jadi menurut kami, Pemprov (Jakarta) sudah gagal memahami apa amanat dari UU tersebut,” ucap Ima.
Lebih lanjut, Ima tak menampik adanya masalah dari proses rekrutmen tenaga honorer pendidikan. Kata dia, banyak guru honorer diangkat kepala sekolah tidak melalui mekanisme pengangkatan yang sesuai prosedur, dipengaruhi oleh faktor subjektivitas, dan seleksi yang tidak sesuai ketentuan.
“Pengangkatan mereka tidak sesuai dengan kebutuhan di sekolah dan tidak ada rekomendasi dari dinas pendidikan. Hal ini yang akhirnya menjadi temuan BPK,” ujar Ima.
Ima juga menyoroti soal dana BOS yang dipakai untuk menggaji guru honorer via APBD. Menurut dia, gaji guru honorer seharusnya tidak membebani daerah.
Karenanya, Ima memandang kebijakan cleansing ini menunjukkan adanya ketidaksinkronan kebijakan pusat dan daerah yang perlu segera diselesaikan. Pemerintah daerah dan pemerintah pusat didesak untuk menemukan solusi bijak bagi seluruh pihak.
“Fraksi PDI Perjuangan mendesak Pemprov DKI Jakarta untuk melakukan penataan tenaga honorer dengan bijak dan memperhatikan kesejahteraan guru yang telah lama mengabdi. Langkah ini diharapkan dapat menjaga kualitas pendidikan di Jakarta dan memberikan kepastian serta keadilan bagi para tenaga pendidik,” ujar Ima menandaskan.
DPRD Jakarta Segera Panggil Disdik, LBH Buka Posko Aduan
Komisi E DPRD DKI Jakarta bakal memanggil Dinas Pendidikan (Disdik) DKI Jakarta usai memecat ratusan guru honorer. Pemanggilan dijadwalkan pekan depan.
“Mungkin pekan depan, kami DPRD DKI akan memanggil Dinas Pendidikan Pemda DKI untuk menjelaskan latar belakang dan tujuan diambil langkah tersebut,” kata Anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta Abdul Aziz saat dikonfirmasi, Rabu (17/7/2024).
Anggota dewan menyesalkan adanya pemecatan serentak yang dilakukan Disdik DKI Jakarta terhadap ratusan guru honorer tersebut. Kebijakan itu ditakutkan akan kontra produktif terhadap pendidikan di Jakarta.
“Jika benar terjadi PHK terhadap guru honorer, kami sangat menyesalkan hal tersebut. Jangan sampai kebijakan tersebut menjadi kontra produktif pada dunia pendidikan di Jakarta yang saat ini kita sama-sama kita lakukan perbaikan,” ujarnya.
Abdul menyatakan, pada pemanggilan pekan depan, Disdik DKI Jakarta akan diminta untuk menjelaskan maksud sebenarnya pemberhentian mendadak terhadap guru honorer.
“Pertama menjelaskan tentang kebijakan tersebut pada DPRD DKI Jakarta dan masyarakat. Kedua, menunda kebijakan tersebut sampai terpilih dan dilantik gubernur baru di DKI,” katanya.
Sementara itu, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta) membuka Posko Pengaduan bagi guru honorer yang diberhentikan atau terkena kebijakan cleansing Dinas Pendidikan Jakarta.
Pengacara Publik LBH Jakarta Fadhil Alfathan mengatakan, posko dibuka karena pihaknya menerima banyak aduan dari guru honorer yang terdampak cleansing.
“Ini adalah rangkaian sejak dari 15 Juli 2024 di mana kami menerima perwakilan guru honorer yang ada di wilayah Provinsi DKI Jakarta yang datang mengadukan permasalahan yang terjadi saat ini yaitu adanya PHK masalah ya akibat kebijakan cleansing,” kata Fadhil dalam konferensi pers di LBH Jakarta, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (17/7/2024).
Menurut dia, pihaknya melihat pola pemberhentian para guru honorer yang tak sesuai peraturan. Sehingga, kata Fadhil, dinilai akan terjadi sebaran pemberhentian guru honorer yang bakal lebih luas ke depan.
“Kami heran dengan istilah cleansing ini ya, tidak ada teori pengelolaan sumber daya manusia, tidak ada nomenklatur atau istilah dalam manajemen kebijakan aparatur sipil negara yang menggunakan kata cleansing,” ucap dia.
Fadhil mengeklaim, kata cleansingÂhanya dipakai dalam istilah kejahatan Hak Asasi Manusia (HAM). Oleh sebab itu, kata dia, LBH Jakarta memandang perlu dibuat posko aduan untuk memfasilitasi guru honorer yang dipecat sepihak ini.
“Kata cleansingÂatau kalau kita buat terjemahan bebasnya berarti pembersihan itu hanya dikenal dalam istilah kejahatan hak asasi manusia yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat,” terang Fadhil.
Fadhil menyebut, Disdik DKI Jakarta telah menunjukkan inkompetensi karena menggunakan kata cleansing untuk menata penyelenggaraan administrasi guru honorer.
Lebih lanjut, LBH Jakarta juga menyoroti soal hasil temuan BPK yang tidak dijumpai Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan atau LAHP-nya.
“Kita tidak tahu ini laporan dalam model apa, kalau kita baca undang-undang ini disebut output ada tiga bentuk, yakni laporan hasil pemeriksaan keuangan hasilnya opini, lalu laporan hasil pemeriksaan atas kinerja yang substansi di dalamnya memuat temuan dan rekomendasi dan pemeriksaan,” jelas Fadhil.
Adapun guru honorer terdampak kebijakan cleansing ini dapat melakukan pengaduan secara online di https://bit.ly/FormulirPengaduanCleansingGuruHonorer.
dikutip dari Liputan6.com